PENDAHULUAN
Usaha ternak
ruminansia sebagai salah satu sumber protein hewani asal susu dan daging
memerlukan asupan bahan pakan yang tersedia dan memiliki kualitas bagus
bagi perkembangan ternak. Pakan sampai saat ini menyumbang 70% dari
total pembiayaan usaha ternak. Konsep usaha ternak ruminansia yang
dilakukan masyarakat Indonesia kebanyakan masih berupa usaha
konvensional dengan pola pemeliharaan yang sebagian besar tradisional.
Usaha peternakan yang telah intensifpun kebanyakan masih mengandalkan
sumber pakan yang biasa digunakan sejak dulu. Inovasi untuk mendapatkan
sumber pakan baru bagi ternak ruminansia mutlak diperlukan.
Peningkatan
produksi ternak ruminansia memerlukan penyediaan jumlah pakan dalam
jumlah besar, terutama pakan berserat kasar kasar (roughage) yang murah.
Perluasan areal untuk penanaman pakan ternak akan semakin terbatas,
terutama pada daerah padat penduduk. Disamping itu penanaman pakan
ternak menghadapi beberapa kendala yaitu :
• Memerlukan investasi lahan yang mahal
• Pemeliharaan tanaman yang tidak murah
• Pengangkutan hijauan ke farm yang kontinyu (tiap hari)
• Hasil panen yang fluktuatif (tergantung musim)
• Penyimpanan yang juga mahal (kebanyakan dalam bentuk silase)
Hasil
intensifikasi tanaman pangan tidak menghasilkan pangan yang lebih
banyak, tetapi juga menghasilkan limbah berserat yang melimpah sehingga
integrasi antara tanaman pangan dengan ternak merupakan suatu
alternatif untuk mencukupi kebutuhan pakan yang murah.
Bebrrapa upaya
harus dilaksanakan secara terpadu untuk meningkatkan pemanfaatn hasil
samping usaha dan agroindustri pertanian (termasuk perkebunan dan
kehutanan) sehingga dihasilkan bahan pakan ternak ruminansia yang
berkualitas dan bernilai ekonomis. Berbagai perlakuan akan disampaikan
berikut ini sebagai tambahan referensi untuk meningkatkan pemanfaatan
hasil samping usaha dan agroindustri pertanian.
HASIL SAMPING USAHA DAN AGROINDUSTRI PERTANIAN SEBAGAI PAKAN ALTERNATIF
Hasil
samping usaha dan agroindustri pertanian (termasuk didalamnya
perkebunan dan kehutanan) sebagai pakan alternatif bagi ternak
ruminansia dilakukan dengan beberapa tahapan sebagai berikut :
1. Observasi
2. Identifikasi
3. Penentuan perlakuan
4. Formulasi dan peningkatan nilai
Observasi
Merupakan
langkah untuk memperoleh dokumentasi dan jenis hasil samping usaha dan
agroindustri pertanian untuk dijadikan sebagai bahan pakan. Hasil
koleksi ini terkait dengan beberapa faktor, yaitu :
a. Lokasi ketersediaan bahan baku yang dekat dengan lokasi pengumpulan
b. Kontinyuitas bahan yang selalu ada atau bila bahan tersebut bersifat musiman maka jumlah dalam setiap musim sangat berlimpah
c. Biaya penanganan dan pengangkutan murah
Identifikasi
Bahan
baku pakan yang telah diperoleh segera diidentifikasi keunggulannya.
Sebagai sumber protein, karbohidrat atau serat kasar.
Penentuan Perlakuan
Bahan
baku pakan yang telah diidentifikasi dan ditentukan keunggulannya
dilakukan penentuan perlakuan prosesing lanjutan sebelum layak dijadikan
sebagai bahan baku pakan, misalnya : dikeringkan – disangrai –
difermentasi – disilase atau dilayukan
Formulasi dan Peningkatan Nilai
Uji
laboratorium untuk mengukur kandungan bahan pakan sebelum dan setelah
perlakuan dilaksanakan sebagai tolok ukur jumlah bahan baku pakan dalam
formula ransum pakan ternak ruminansia untuk ditingkatkan nilainya
sebagai pakan terpisah atau sebagai pakan lengkap (complete feed)
DEDAK PADI
Dedak
padi (hu’ut dalam bahasa sunda) merupakan hasil sisa dari penumbukan
atau penggilingan gabah padi. Dedak tersusun dari tiga bagian yang
masing-masing berbeda kandungan zatnya. Ketiga bagian tersebut adalah:
Kulit gabah yang banyak mengandung serat kasar dan mineral
• Selaput perak yang kaya akan protein dan vitamin B1, juga lemak dan mineral.
• Lembaga beras yang sebagian besar terdiri dari karbohidrat yang mudah dicerna.
Berhubung
dedak merupakan campuran dari ketiga bagian tersebut diatas maka
nilai/martabatnya selalu berubah-ubah tergantung dari proporsi
bagian-bagian tersebut.
Menurut kelas nilainya, dedak dibagi menjadi empat kelas, yaitu:
• Dedak Kasar
Adalah kulit gabah halus yang bercampur dengan sedikit pecahan lembaga beras dan daya cernanya relatif rendah.
Analisa
kandungan nutrisi: 10.6% air, 4.1% protein, 32.4% bahan ekstrak tanpa
N, 35.3% serat kasar, 1.6% lemak dan 16% abu serta nilai Martabat Pati
19
Sebenarnya dedak kasar ini sudah tidak termasuk sebagai bahan
makanan penguat (konsentrat) sebab kandungan serat kasarnya relatif
terlalu tinggi (35.3%)
• Dedak halus biasa
Merupakan
hasil sisa dari penumbukan padi secara tradisional (disebut juga dedak
kampung). Dedak halus biasa ini banyak mengandung komponen kulit gabah,
juga selaput perak dan pecahan lembaga beras. Kadar serat kasarnya masih
cukup tinggi akan tetapi sudah termasuk dalam golongan konsentrat
karena kadar serat kasar dibawah 18%. Martabat Pati nya termasuk rendah
dan hanya sebagian kecil saja yang dapat dicerna.
Analisa nutrisi:
16.2% air, 9.5% protein, 43.8% bahan ekstrak tanpa N, 16.4% serat kasar,
3.3% lemak dan 10.8% abu serta nilai Martabat Pati (MP) nya 53
• Dedak lunteh
Merupakan
hasil ikutan dari pengasahan/pemutihan beras (slep atau polishing
beras). Dari semua macam dedak, dedak inilah yang banyak mengandung
protein dan vitamin B1 karena sebagian besar terdiri dari selaput perak
dan bahan lembaga, dan hanya sedikit mengandung kulit. Di beberapa
tempat dedak ini disebut juga dedak murni.
Analisa nutrisi: 15.9%
air, 15.3% protein, 42.8% bahan ekstrak tanpa N, 8.1% serat kasar, 8.5%
lemak, 9.4% abu serta nilai MP adalah 67.
• Bekatul
Merupakan
hasil sisa ikutan dari pabrik pengolahan khususnya bagian
asah/slep/polish. Lebih sedikit mengandung selaput perak dan kulit serta
lebih sedikit mengandung vitamin B1, tetapi banyak bercampur dengan
pecahan-pecahan kecil lembaga beras (menir). Oleh sebab itu masih dapat
dimanfaatkan sebagai makanan manusia sehingga agak sukar didapat.
Analisa nutrisi: 15% air, 14.5% protein, 48.7% lemak dan 7.0% abu serta nilai MP adalah 70.
Dalam
perdagangan harus cukup teliti dan waspada karena dedak sering
dipalsukan dengan mencampur kulit gabah (dedak kasar) yang telah
digiling halus ke dalam dedak halus, lunteh atau bekatul.
DEDAK JAGUNG
Dedak
jagung merupakan hasil sisa ikutan dari penggilingan jagung yang banyak
terdapat di daerah-daerah yang makanan pokok dari penduduknya adalah
jagung, seperti Madura dan daerah industri dan pertanian Jagung lainnya.
Dedak jagung sangat baik diberikan pada ternak hanya cara
penyimpanannya yang agak sukar karena bersifat higroskopis sehingga
mudah menjadi lembab sehingga cepat rusak.
Analisa nutrisi: 9.9% air,
9.8% protein, 61.8% bahan ekstrak tanpa N, 9.8 serat kasar, 6.4% lemak
dan 2.3% abu serta nilai Martabat Pati (MP) adalah 68.
BUNGKIL KELAPA
Karena
minyak kelapa menduduki tempat pertama dalam memenuhi kebutuhan manusia
akan minyak goreng, bungkil kelapa sangat mudah didapatkan. Harganya
pun jauh lebih murah bila dibandingkan dengan bungkil kacang tanah.
Kadar proteinnya paling rendah diantara bungkil-bungkil yang lain, namun
nilai martabat makanannya cukup tinggi karena zat-zat yang dikandung
bungkil kelapa mudah dicerna.
Yang disebut bungkil kelapa ini
biasanya adalah hasil sisa dari pembuatan dan ekstraksi minyak kelapa
yang didapat dari daging kelapa yang telah dikeringkan terlebih dahulu.
Sangat
baik diberikan pada sapi perah sebab dapat meningkatkan kadar lemak
susu sehingga meningkatkan kualitas susu. Pemberiannya tergantung pada
berat badannya yaitu antara 1.5 - 2.5 kg/ekor/hari. Sedangkan untuk babi
antara 0.75 - 1.5kg/ekor/hari. Baik pula diberikan pada ayam dengan
pemberian sampai +/- 25%.
Untuk kuda juga dapat diberikan hanya dalam
jumlah sedikit dan dicampur dengan gabah atau dedak, sebab apabila
terlalu banyak dapat menyebabkan diare.
Analisa nutrisi: 11.6% air,
18.7% protein, 45.5% bahan ekstrak tanpa N, 8.8% serat kasar, 9.6% lemak
dan 5.8% abu serta nilai Martabat Pati (MP) 81.
BUNGKIL KACANG TANAH
Bungkil
ini sekarang mudah didapat karena sudah banyak pabrik-pabrik minyak
kacang, baik pabrik modern maupun yang masih sederhana. Kadar proteinnya
paling tinggi diantara bungkil bungkil yang lain yang umum digunakan.
Baik
untuk digunakan sebagai komposisi dalam ransum konsentrat untuk sapi,
babi dan ayam. Hanya perlu dibatasi jumlah pemberiannya karena kadar
lemaknya yang cukup tinggi dan harganya relatif mahal.
Analisa
nutrisi: 6.6% air, 42.7% protein, 27% bahan ekstrak tanpa N, 8.9% serat
kasar, 8.5% lemak dan 6.3% abu serta nilai MP adalah 80.
ONGGOK
Merupakan
hasil sisa dalam pembuatan tepung kanji. Dapat diberikan pada ternak
sapi dan babi sebagai komposisi ransumnya. Ampas ketela pohon ini
berguna sebagai sumber karbohidrat untuk stimulasi dalam pembuatan
silase.
Analisa nutrisi: 18.3% air, 0.8% protein, 78% bahan ekstrak
tanpa N, 2.2% serat kasar, 0.2% lemak dan 2.5% abu serta nilai MP adalah
76.
KULIT ARI KEDELAI (KLECI)
Merupakan
hasil sortir penggilingan kacang kedelai yang digunakan untuk proses
pembuatan tahu dan tempe. Karena merupakan kulit, maka bahan baku pakan
ini perlu diberi perlakuan berupa perebusan (minimal perendaman) untuk
meningkatkan kecernaan bahan. Ciri umum limbah seperti itu, mengandung
serat kasar (selulosa, lignoselulosa dan hemiselulosa) yang tinggi.
Molekul kompleks ini sebenarnya tersusun dari ikatan rantai panjang
glukosa (ikatan 1,6 - beta glukosidik).
Secara alamiah, di dalam
rumen serat akan dibongkar (degradasi) oleh mikrobia selulolitik menjadi
molekul yang lebih sederhana, termasuk glukosa. Molekul sederhana ini
akan disintesa oleh mikrobia untuk membuat asam-asam lemak dan protein,
yang nantinya diserap usus halus.
Semakin mudah pakan didegradasi
oleh mikrobia maka semakin cepat laju sintesa itu, nutrien yang diserap
usus halus akan makin banyak pula. Sehingga pertumbuhan sapi pun semakin
baik.
Tanpa perlakuan khusus, nilai kecernaan pakan rendah alias
sulit didegradasi karena kuatnya ikatan 1,6 - beta glukosidik. Laju
sintesa asam lemak dan protein pun lambat karena harus melalui tahap
pemecahan serat di dalam rumen.
Cara lain yang umum dipakai untuk
memecah – atau setidaknya merenggangkan – ikatan 1,6- beta glukosidik
adalah dengan fermentasi dan pemanasan. Fermentasi memerlukan waktu
lebih lama dan tempat khusus, sementara dengan pemanasan, peternak perlu
mengeluarkan biaya bahan bakar.
Menurut penelitian, pemanasan mampu
meningkatkan nilai kecernaan kleci hingga mencapai 90%, meningkat 25 –
30 % dibanding jika diberikan apa adanya. Selain itu laju pencernaan
pakan menjadi 4 jam, 2 jam lebih cepat dari umumnya. Hal ini disebabkan
karena pakan lebih mudah dicerna. Dengan demikian sapi bisa makan dengan
porsi lebih banyak dalam sehari.
Fermentasi Jerami Padi
Proses
fermentasi Jerami Padi memerlukan lokasi yang ternaungi beralas tanah.
Fermentasi jerami padi dimaksudkan untuk memanfaatkan hasil samping
usaha pertanian padi dan meningkatkan kualitas jerami padi agar dapat
dijadikan sebagai sumber pakan berserat ternak rumiansia.
Proses Fermentasi Jerami Padi :
1. Jerami ditumpuk dan dipadatkan dengan cara dinjak-injak dengan ketinggian 50cm pada lokasi ternaungi beralas tanah
2.
Diatas tumpukan tersebut diperciki tetes tebu sebanyak 2 liter/ton
(bila tidak ada tetes tebu dapat digunakan urea sebanyak 0,3% dari berat
jerami) dan atau Probiotik
3. Diatas tumpukan pertama diberi lagi
jerami dan dipadatkan dengan cara dinjak-injak dengan ketinggian 50cm
serta diperciki tetes tebu sebanyak 2 liter/ton (bila tidak ada tetes
tebu dapat digunakan urea sebanyak 0,3% dari berat jerami) dan atau
Probiotik
4. Perlakuan yang sama dilakukan sampai terbentuk beberapa tumpukan (tinggi minimal tumpukan adalah 1,5 meter)
5.
Setelah terbentuk tumpukan yang dimaksud, dilakukan penyiraman untuk
memberi kadar air tumpukan min 60% (kondisi yang baik untuk pertumbuhan
mikroba fermentor). Lakukan penutupan bagian atas tumpukan dengan
karung plastik atau kardus atau daun lebar
6. Biarkan terjadi proses fermentasi selama 14 hari
7.
Setelah 14 hari, tumpukan dibongkar dan dikeringkan atau
diangin-anginkan sampai kering sebagai stok pakan atau dapat juga
langsung diberikan sebagai pakan berserat untuk ternak ruminansia
Hasil laboratorium pengujian Jerami Segar dan jerami Fermentasi
Hasil Analisa Jerami Segar Jerami Fermentasi
Air 59.16 10,17
Abu 24,5 19,87
Protein Kasar 4,3 9,03
Lemak 2,5 1,52
Serat Kasar 33,8 31,8
Diuji oleh : Fakultas Teknologi Pertanian UGM – Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian
Sumber : LHM – Research Station, Makalah Pelatihan Integrated Farming System
Pelepah dan Daun Kelapa Sawit
Pelepah
dan Daun Kelapa Sawit dapat dijadikan sebagai pakan berserat ternak
ruminansia dengan cara dichopper (dicacah) terlebih dahulu dan dilayukan
selama satu malam
Lumpur Sawit
Lumpur hasil agroindustri
pengolahan kelapa sawit dapat dijadikan sebagai pengganti bekatul sampai
80% dengan cara melakukan pengeringan lumpur sawit dan digiling menjadi
tepung
Serat Sawit
Serat
buah kelapa sawit dapat dijadikan sebagai sumber bahan baku pakan
berserat dengan cara difermentasi. Proses fermentasi serat sawit sama
dengan proses fermentasi jerami padi sebagai berikut :
Proses Fermentasi Serat Sawit :
1.
Serat Sawit ditumpuk dan dipadatkan dengan cara dinjak-injak dengan
ketinggian 50cm pada sebuah wadah dari kayu dengan dinding papan yang
tidak rapat (untuk sirkulasi udara) pada lokasi ternaungi
2. Diatas
tumpukan tersebut diperciki tetes tebu sebanyak 2 liter/ton (bila tidak
ada tetes tebu dapat digunakan urea sebanyak 0,3% dari berat serat
sawit), lumpur hasil samping agroindustri kelapa sawit sebanyak 5% dari
total serat sawit dan atau Probiotik
3. Diatas tumpukan pertama
diberi lagi serat sawit dan dipadatkan dengan cara dinjak-injak dengan
ketinggian 50cm serta diperciki tetes tebu sebanyak 2 liter/ton (bila
tidak ada tetes tebu dapat digunakan urea sebanyak 0,3% dari berat serat
sawit), lumpur hasil samping agroindustri kelapa sawit sebanyak 5% dari
total serat sawit dan atau Probiotik
4. Perlakuan yang sama dilakukan sampai terbentuk beberapa tumpukan (tinggi minimal tumpukan adalah 1,5 meter)
5.
Setelah terbentuk tumpukan yang dimaksud, dilakukan penyiraman untuk
memberi kadar air tumpukan min 60% (kondisi yang baik untuk pertumbuhan
mikroba fermentor) Lakukan penutupan bagian atas tumpukan dengan karung
plastik atau kardus atau daun lebar
6. Biarkan terjadi proses fermentasi selama 14 – 21 hari
7.
Setelah 14 – 21 hari, tumpukan dibongkar dan dikeringkan atau
diangin-anginkan sampai kering sebagai stok pakan atau dapat juga
langsung diberikan sebagai pakan berserat untuk ternak ruminansia
FERMENTASI KULIT BUAH COKELAT
Tanaman Cacao (cokelat) akan menghasilkan :
1. Biji Cokelat
2. Kulit Biji Cokelat
3. Kulit Buah Cokelat (cacao pod)
Teknik fermentasi kulit buah cacao adalah :
1.
Kulit buah kakao (cacao pod) segar (kadar air ± 85 %) diturunkan kadar
airnya sampai ± 70% dengan cara dikeringkan sinar matahari selama 6 jam
penyinaran.
2. Kulit buah kakao difermentasi dengan menggunakan 3 kg Probiotik dan 6 kg Urea/ton kulit buah kakao pada lokasi ternaungi
3.
Lakukan penutupan bagian atas tumpukan dengan karung plastik atau
kardus atau daun lebar. Biarkan terjadi fermentasi selama 14 hari
4. Setelah 14 hari lakukan pembongkaran tumpukan, dikeringkan dan digiling dengan lobang saringan 50 mm.
Tujuan
Fermentasi adalah untuk menaikan daya cerna melalui menyederhakan
ikatan struktur kompleks pada kulit buah cokelat, palatabilitas (nilai
kesukaan ternak) dan penyerapan nutrisi kulit buah cokelat. Fermentasi
juga dilakukan untuk meredam efek buruk racun theobromine dan asam fitat
yang dapat menyebabkan diare dan penurunan daya serap usus pada ternak
ruminansia.
Catatan :
Pada
Unggas, pemberian kulit buah cokelat segar akan member efek zat anti
nutrisi, yaitu theobromine (3,7 dimethylxan-tine) sebagaimana dilakukan
oleh Wong et. al., 1986, menunjukkan bahwa konsumsi theobromine pada
unggas ternyata mengganggu pertumbuhan, menurunkan produksi telur,
terjadi lesi pada usus halus dan bahkan dapat menyebabkan kematian.
Diduga, menurunnya kecernaan bahan kering, protein kasar maupun energi
termetabolis yang sejalan dengan kenaikan pemakaian kulit buah cokelat
dalam ransum karena adanya racun theobromine tersebut.
FERMENTASI AMPAS TEBU
Proses
fermentasi ampas tebu (bagassilo) memiliki prinsip yang sama dengan
fermentasi jerami padi. Ampas tebu memiliki kandungan lignin yang
tinggi (+ 19,7%), kandungan protein rendah (+ 2%) dan Total Digestible
Nutrientnya (TDN) rendah (+ 28%) sehingga perlu dilakukan perlakuan
khusus dengan tujuan :
1. Struktur lignin dapat disederhanakan sehingga bermanfaat dan dapat meningkatkan nilai tukar kation pada pakan
2.
Nilai Total Digestible Nutrient (kecernaan) dan kandungan protein dapat
meningkat sehingga memenuhi syarat sebagai pakan ternak ruminansia.
Keunggulan ampas tebu dibanding jerami padi adalah rendahnya kandungan silica.
Proses Fermentasi Ampas Tebu :
1.
Ampas Tebu ditumpuk dan dipadatkan dengan cara dinjak-injak dengan
ketinggian 50cm pada sebuah wadah dari kayu dengan dinding papan yang
tidak rapat (untuk sirkulasi udara) pada lokasi ternaungi
2. Diatas
tumpukan tersebut diperciki tetes tebu sebanyak 4 liter/ton (bila tidak
ada tetes tebu dapat digunakan urea sebanyak 0,6% dari ampas tebu),
pupuk TSP sebanyak 0,2%, pupuk ZA sebanyak 0,2% dan atau Probiotik
3.
Diatas tumpukan pertama diberi lagi ampas tebu dan dipadatkan dengan
cara dinjak-injak dengan ketinggian 50cm serta diperciki tetes tebu
sebanyak 4 liter/ton (bila tidak ada tetes tebu dapat digunakan urea
sebanyak 0,6% dari berat ampas tebu), pupuk TSP sebanyak 0,2%, pupuk ZA
sebanyak 0,2% dan atau Probiotik
4. Perlakuan yang sama dilakukan sampai terbentuk beberapa tumpukan (tinggi minimal tumpukan adalah 1,5 meter)
5.
Setelah terbentuk tumpukan yang dimaksud, dilakukan penyiraman untuk
memberi kadar air tumpukan min 60% (kondisi yang baik untuk pertumbuhan
mikroba fermentor) Lakukan penutupan bagian atas tumpukan dengan karung
plastik atau kardus atau daun lebar
6. Biarkan terjadi proses fermentasi selama 14 – 21 hari
7.
Setelah 14 – 21 hari, tumpukan dibongkar dan dikeringkan atau
diangin-anginkan sampai kering sebagai stok pakan atau dapat juga
langsung diberikan sebagai pakan berserat untuk ternak ruminansia
FERMENTASI PUCUK TEBU
Pucuk
tebu memiliki proporsi sebesar 23% dari seluruh batang tebu. Proses
fermentasi pucuk tebu (cane top) memiliki prinsip yang sama dengan
fermentasi jerami padi dan ampas tebu.
Proses Fermentasi Pucuk Tebu :
1.
Pucuk Tebu dipotog-potong dengan panjang 5 – 7,5 cm lalu ditumpuk dan
dipadatkan dengan cara dinjak-injak dengan ketinggian 50cm pada lokasi
ternaungi
2. Diatas tumpukan tersebut diperciki tetes tebu sebanyak 2
liter/ton (bila tidak ada tetes tebu dapat digunakan urea sebanyak 0,3%
dari berat pucuk tebu) dan atau Probiotik
3. Diatas tumpukan
pertama diberi lagi pucuk tebu dan dipadatkan dengan cara dinjak-injak
dengan ketinggian 50cm serta diperciki tetes tebu sebanyak 4 liter/ton
(bila tidak ada tetes tebu dapat digunakan urea sebanyak 0,6% dari berat
pucuk tebu) dan atau Probiotik
4. Perlakuan yang sama dilakukan sampai terbentuk beberapa tumpukan (tinggi minimal tumpukan adalah 1,5 meter)
5.
Setelah terbentuk tumpukan yang dimaksud, dilakukan penyiraman untuk
memberi kadar air tumpukan min 60% (kondisi yang baik untuk pertumbuhan
mikroba fermentor) Lakukan penutupan bagian atas tumpukan dengan karung
plastik atau kardus atau daun lebar
6. Biarkan terjadi proses fermentasi selama 14 hari
7.
Setelah 14 hari, tumpukan dibongkar dan dikeringkan atau
diangin-anginkan sampai kering sebagai stok pakan atau dapat juga
langsung diberikan sebagai pakan berserat untuk ternak ruminansia
FERMENTASI TONGKOL JAGUNG
Pemanfaatan
tongkol jagung sampai saat ini hanya digunakan sebagai bahan bakar
untuk memasak dan belum imanfaatkan secara maksimal. Tongkol jagung
selain klobot (seludang luar buah jagung) dapat digunakan sebagai pakan
ternak ruminansia setelah diberi perlakuan fermentasi. Fermentasi
tongkol jagung dilakukan karena memiliki kandungan lignin, sellulosa,
hemisellulosa dan silika yang masih cukup tinggi.
Kandungan lignin
dan silika yang tingi dapat menghambat kemampuan mikroflora dalam rumen
untuk mencerna. Peningkatan kecernaan tongkol jagung dapat dilakukan
dengan melaukan fermentasi dengan cara :
1. Tongkol jagung digiling sampai sebesar pipilan buah jagung
2. Dilakukan fermentasi dengan menggunakan probiotik sebanyak 15 gram/10 kg tongkol jagung
3. Kelembaban awal sebesar 60%
4. Lama proses fermentasi selama 4 – 5 hari
Tongkol jagung fermentasi dapat digunakan sebagai pengganti dedak sampai 67%
KULIT SINGKONG
Kulit
umbi ubi kayu/singkong dapat digunakan sebagai sumber serat kasar dan
energi bagi ternak ruminansia. Caranya adalah dengan melakukan
pengeringan untuk mengurangi pengaruh sianida (zat anti nutrisi pada ubi
kayu), setelah kering kemudian kulit ubi kayu tersebut digiling dan
dicampur dengan bahan pakan lain sebagai pakan penguat (konsentrat)
AMPAS TAHU
Merupakan
hasil samping proses pembuatan tahu yang memiliki kandungan Protein
Kasar mencapai 21,16% dengan kondisi bahan baku sudah dimasak sehingga
memiliki kecernaan yang cukup tinggi. Hanya saja Bahan Ekstrak Tanpa
Nitrogen yang tinggi membuatnya sulit untuk difermentasi sehingga
memerlukan bantuan bahan baku lain yang memiliki kandungan air rendah
sehingga mampu mencapai kadar air optimum (sebesar 60 – 70%) untuk
mempercepat proses fermentasi asam lemak dan meningkatkan daya tahan
sehingga dapat disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama.
Bahan baku yang dapat digunakan untuk fermentasi adalah dedak atau onggok.
Fermentasi Ampas Tahu
1. Ampas tahu dimasukkan dalam karung plastik, lalu diinjak-injak atau dipadatkan untuk menghilangkan kadar air
Campurkan dedak atau onggok dengan perbandingan Ampas Tahu : Dedak/Onggok = 75 : 25 secara merata
2. Siapkan drum plastik dan kantong plastik yang masih baik (tidak bocor) lalu lapisi bagian dalam drum dengan kantong plastik
3. Masukkan campuran kedalam drum plastik sambil dipadatkan
4. Sisa kantong plastik diikat dengan kuat dan dipastikan bahwa tidak ada udara yang masuk kedalam drum plastik
5. Tutup rapat drum plastik, bila perlu beri pemberat diatasnya (ban dengan batu diatasnya) agar air dan udara tertekan
6. Simpan sampai 21 hari, daya penyimpanan dapat mencapai 6 bulan apabila jaminan kedap udara didalam drum plastik terpenuhi
7.
Aplikasi pemberian pada ternak, sebaiknya ditambah dengan mineral,
karena ampas tahu mengandung Kalsium dan Phosphor yang rendah
AMPAS BIR
Merupakan
hasil samping proses pembuatan bir yang berasal dari gandum. Sama
seperti ampas tahun ampas bir memiliki kandungan Bahan Ekstrak Tanpa
Nitrogen yang tinggi membuatnya sulit untuk difermentasi sehingga
memerlukan bantuan bahan baku lain yang memiliki kandungan air rendah
sehingga mampu mencapai kadar air optimum (sebesar 60 – 70%) untuk
mempercepat proses fermentasi asam lemak dan meningkatkan daya tahan
sehingga dapat disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama.
Bahan baku yang dapat digunakan untuk fermentasi adalah dedak atau onggok.
Fermentasi Ampas Bir
1. Ampas bir dimasukkan dalam karung plastik, lalu diinjak-injak atau dipadatkan untuk menghilangkan kadar air
2. Campurkan dedak atau onggok dengan perbandingan Ampas Bir : Dedak/Onggok = 75 : 25 secara merata
3. Siapkan drum plastik dan kantong plastik yang masih baik (tidak bocor) lalu lapisi bagian dalam drum dengan kantong plastik
4. Masukkan campuran kedalam drum plastik sambil dipadatkan
5. Sisa kantong plastik diikat dengan kuat dan dipastikan bahwa tidak ada udara yang masuk kedalam drum plastik
6. Tutup rapat drum plastik, bila perlu beri pemberat diatasnya (ban dengan batu diatasnya) agar air dan udara tertekan
7. Simpan sampai 21 hari, daya penyimpanan dapat mencapai 6 bulan apabila jaminan kedap udara didalam drum plastik terpenuhi
Silase
Dr.
Wayne K. Coblentz, seorang assistant professor dari University of
Arkansas melalui jurnal ilmiahnya menyatakan bahwa silase adalah suatu
produk yang dihasilkan dari pemanenan tanaman makanan ternak/hijauan
pada kadar air (moisture content) yang tinggi (lebih besar dari 50%)
kemudian hasil panen tersebut difermentasikan dalam lubang, menara
(tower), parit (trench), atau plastik silo. Idealnya, proses ini harus
terjadi tanpa kehadiran oksigen (total absence of oxygen). Proses
fermentasi dalam pembuatan silase dibantu oleh mikroorganisme dalam
kondisi anaerob/hampa udara (air tight) yang mengubah karbohidrat atau
gula tanaman (plant sugars) menjadi asam laktat oleh Lactobacillus Sp.
Silase dapat menekan proses aktivitas bakteri pembusuk yang akan
menurunkan mutu hijauan sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama.
Pengetahuan tentang fermentasi hijauan dengan mengunakan silase
diperkirakan telah berusia lebih dari 3000 tahun. Beberapa silo (tempat
pembuatan silase) telah ditemukan pada reruntuhan Chartage yang
mengindikasikan bahwa silase telah dibuat di sana sekira 1200 tahun
sebelum masehi. Tercatat pula bahwa bangsa Jerman pada abad pertama
telah menyimpan hijauan makanan ternak dalam lubang di tanah. Pada
pertengahan abad ke-19, silase rumput dan gula bit telah menyebar ke
Eropa (Siefers, 2000).
Hijauan yang melebihi kebutuhan dan melimpah
di musim hujan jika dibiarkan di udara terbuka akan terjadi penurunan
nilai gizi yang disebabkan mikroorganisme aerob. Oleh karena itu,
hijauan perlu diawetkan dengan pembuatan silase. Hijauan seperti batang
dan daun jagung (Zea mays) sudah dipakai meluas sebagai bahan pembuatan
silase. Hijauan terbaik yang telah diperoleh tersebut harus dipotong
atau dicacah terlebih dahulu sebelum pembuatan silase dengan maksud
untuk meningkatkan volume dan mempercepat proses fermentasi. Setelah
itu, hijauan harus segera dimasukan kedalam silo dengan kepadatan tinggi
kemudian ditutup dengan cepat untuk mencegah masuknya oksigen. Di dalam
silo inilah hijauan akan difermentasi atau diawetkan sampai tiba saat
diberikan pada ternak.
Pembuatan silase memang sederhana, namun jika
dilihat dari aspek teknologi maka di dalam pembuatan silase ini terdapat
proses fermentasi dan proses-proses lain yang sangat kompleks dimana
melibatkan faktor mikrobiologi, kimia, dan fisik. Proses pembuatan
silase dinamakan ensilase. Prinsip dasarnya adalah fermentasi dalam
kondisi asam dan anaerob. Dua kondisi tersebut merupakan kunci
keberhasilan dalam pembuatan silase. Beberapa aspek yang sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan silase antara lain kandungan oksigen
dalam silo, kandungan gula dan air pada bahan, dan temperatur.
Penghilangan oksigen ini sangat penting karena menurut Dr. Wayne K.
Coblentz, sel tumbuhan tidak langsung mati pada saat pemanenan, namun
sel tersebut terus bernapas. Apabila oksigen masih terdapat pada silo,
maka gula (plant sugars) akan teroksidasi (oxidized) dan hal ini sangat
merugikan karena gula sangat esensial dalam fermentasi sehingga oksidasi
ini harus dicegah dengan cara pengeluaran oksigen. Oksidasi gula
tanaman pun akan menurunkan nilai energi dari hijauan dan secara tidak
langsung akan meningkatkan komponen serat yang memliki kecernaan rendah
bagi ternak. Oleh karena itu, kandungan oksigen dalam silo harus
dibatasi sehingga tercipta kondisi anaerob. Gula pada hijauan berguna
sebagai substrat primer (primary substrate) bagi bakteri penghasil asam
laktat yang akan menurunkan pH atau derajat keasaman (acidity) pada
silase sehingga silase akan stabil dan awet pada waktu yang lama.
Apabila kandungan gula pada bahan ini rendah, maka fermentasi tidak akan
berjalan sempurna. Hal tersebut dikarenakan ketidakhadiran bakteri
penghasil asam laktat. Fermentasi akan berlangsung secara maksimal pada
saat gula tersebut difermentasi oleh bakteri penghasil asam laktat.
Pembuatan silase dalam skala besar dengan jumlah yang sangat banyak,
harus dilakukan pemilihan hijauan/bahan yang memiliki kandungan gula
tinggi. Jika kandungan gula pada hijauan kurang, maka perlu dilakukan
penambahan zat aditif untuk sumber substrat (substrate sources) bagi
bakteri penghasil asam laktat. Aditif yang digunakan tentu harus
merupakan bahan yang mengandung gula yang salah satunya adalah molases
(produk sampingan dari ekstraksi gula yang berasal dari tumbuhan). Bahan
aditif lainnya bagi silase biasanya berupa bakteri inokulan (bacterial
inoculants) dan enzim. David K. Combs, dari University
Wisconsin-Madison menggolongkan bakteri inokulan silase menjadi dua,
yaitu bakteri homofermentatif dan bakteri heterofermentatif. Bakteri
homofermentatif merupakan bakteri yang umum dalam menghasilkan asam
laktat, contohnya adalah Lactobacillus plantarum, L. Acidophilus,
Pediococcus cerevisiae, P. Acidilactici dan Enterococcus faecium.
Organisme ini telah menunjukan kemampuannya dalam menurunkan pH selama
proses fermentasi, mengurangi tingkat kehilangan bahan kering (dry
matter) silase, sehingga performans ternak dapat meningkat. Namun,
silase yang difermentasi dengan bakteri homofermentatif ini kurang
stabil ketika diekspos ke udara karena asam laktat yang dproduksi oleh
bakteri homofermentatif ini dapat dimetabolis dengan cepat oleh beberapa
spesies ragi (yeast) dan jamur (mold).
Bakteri heterofermentatif
dapat menghasilkan asam laktat dan asetat dalam proses fermentasi,
contohnya adalah Lactobacillus buchneri. Bakteri heterofermentatif ini
dapat mengurangi pertumbuhan ragi dan silase akan terlindung oleh suhu
yang tinggi saat diekspos ke udara. Keuntungan ekonomis dari penggunaan
Lactobacillus buchneri sebagai inokulan bergantung pada jumlah hijauan
yang dapat disimpan dengan mengurangi penyusutan (losses) yang
diasosiasikan dengan ketidaksatabilan aerob. Kandungan air pada bahan
merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada proses fermentasi.
Kandungan air yang optimal pada bahan dalam keadaan segar berkisar
antara 60-70% atau 65%. Dalam persentase air sebanyak itu akan sangat
mendukung dalam proses fermentasi dan penghilangan oksigen pada silo
saat pengemasan. Persentase kandungan air yang terlalu tinggi pada bahan
akan menyebabkan tingginya konsentrasi asam butirat (butiryc acid) dan
amonia, silase seperti ini akan memiliki keasaman yang kurang (pH
tinggi). Hal tersebut akan menyebabkan bau yang menyengat pada silase
sehingga tidak akan dikonsumsi oleh ternak. Kelebihan kandungan air pada
bahan pun akan menyebabkan fermentasi clostridial yang tidak
diinginkan.
Pengontrolan temperatur silase sangat penting dilakukan
agar berlangsung proses fermentasi karena pengontrolan temperatur sangat
mendukung dalam pembentukan asam laktat. Reaksi antar gula (sugars)
dengan oksigen akan menghasilkan karbondioksida, air, dan panas (heat).
Untuk mengurangi suhu yang tinggi, maka harus dilakukan pengeluaran
oksigen dari silo. Temperatur silase harus dipertahankan dimana
fermentasi dapat berjalan secara optimal dan pembentukan bakteri asam
laktat dapat berlangsung. Apabila beberapa aspek tadi telah
diperhatikan dengan baik, maka kemungkinan akan diperoleh silase dengan
kualitas baik pula. Dinas Peternakan Jawa Barat memiliki standar
kualitas silase yang baik dan layak untuk menjadi pakan ternak. Ada
empat indikator yang digunakan dalam menilai kualitas tersebut, yaitu
wangi, rasa, warna, dan sentuhan. Silase yang baik memiliki wangi
seperti buah-buahan dan sedikit asam, sangat wangi dan terdorong untuk
mencicipinya dengan rasa yang manis dan terasa asam seperti youghurt.
Warna kualitas silase yang baik adalah berwarna hijau kekuning-kuningan
dan kering. Meskipun demikian, silase tidak akan pernah lebih baik
dari hijauan aslinya karena adanya sejumlah tertentu zat makanan akan
hilang selama proses fermentasi yang berjalan tidak sempurna. Silase pun
bersifat slighty laxative atau bersifat pencahar yang dapat disebabkan
bahan aditif seperti molases dengan kandungan kalium tinggi sehingga
pemberian silase sebaiknya dicampur dengan hijauan kering (dry roughage)
non-legum yang bersifat constipaty.
Parameter Kualitas Silase yang baik dan layak sebagai pakan ternak
Pengeringan Tanaman Pakan Ternak
Hay
adalah pengawetan hijauan pakan ternak (misalnya : rumput gajah, rumput
raja, batang dan daun jagung) yang sengaja dipotong dan dikeringkan
dengan bantuan sinar matahari atau dengan alat pengering sehingga
hijauan memiliki kadar air 10 – 15%. Pembuatan hay tanaman pakan ternak
dapat dilakukan dengan cara memotong atau mencincang tanaman (cincangan
halus terutama dilakukan pada bagian batang) dan selanjutnya dijemur
pada hamparan lokasi yang memiliki intensitas penyinaran yang baik atau
pada alat pengering.
Untuk proses pembuatan hay melalui penjemuran
dilakukan pembalikan agar pengeringan bahan dapat berlangsung secara
merata. Pada waktu sore hari atau menjelang turun hujan, bahan
dikumpulkan dan ditumpuk serta ditutup dengan terpal plastik. Hal ini
dilakukan untuk melindungi bahan dari embun yang turun dimalam hari dan
atau air hujan. Pada keesokan harinya tumpukan kembali dijemur disertai
pembalikan untuk meratakan proses pengeringan. Pencapaian kadar air
sebesar 10 – 15% biasanya memerlukan waktu 3 – 5 hari atau setelah tidak
terjadi penurunan berat bahan saat penimbangan. Selanjutnya dilakukan
pengemasan dengan cara memasukkan bahan kedalam wadah untuk memudahkan
penyimpanan. Lokasi penyimpanan sebaiknya merupakan lokasi yang bersih
dan kering serta terhindar dari air hujan. Susunan wadah penyimpanan
yang rapi dan diberi jarak antar tumpukan sehingga akan memudahkan
pengambilan dan jumlah hay yang disimpan akan lebih banyak.
Pemberian
hay dapat dilakukan langsung pada ternak tanpa perlakuan apapun. Hay
dapat diberikan sebagai pakan tunggal untuk ternak. Kebanyakan ternak
ruminansia memiliki tingkat kesukaan yang tinggi, karena hay yang
diproses dengan baik memiliki bau seperti daun dan batang jagung segar
dan rasanya manis. Bila ternak belum mau, maka pemberian dapat
dilakukan sedikit demi sedikit sampai ternak memiliki tingkat kesukaan
yang baik. Satu kilogram hay setara dengan tujuh kilogram tanaman pakan
ternak segar.
DAFTAR ISTILAH LAIN
Angka
Manfaat: angka persentasi yang menunjukkan perbandingan antara energi
netto dengan energi zat-zat makanan yang dapat dicerna dari bahan
makanan yang bersangkutan.
Abu: Zat-zat mineral yang ditentukan dengan membakar makanan (zat organik).
Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN): Bagian dari bahan makanan yang mengandung karbohidrat, gula dan pati.
Bahan Kering (BK): Berat konstan bahan makakan setelah dihilangkan kandungan airnya dengan pemanasan 105 derajat celcius.
Daya Cerna: Persentase makanan yang dimakan dibanding denagn yang dikeluarkan sebagai faeces/tinja.
Energi
Bruto: Semua panas yang bebas pada pembakaran, panas ini dihasilkan
dari suatu makanan yang seluruhnya dibakar sehingga menghasilkan zat-zat
terakhir seperti CO2, H2O, dan gas lain.
Energi Dapat Dicerna
(Digestible Energy): Nilai energi bruto bahan makanan dikurangi zat-zat
yang tidak dapat dicerna (energi dalam faeces).
Energi Netto: Energi tersedia dikurang energi thermis.
Energi Thermis: Energi yang dipergunakan untuk pengunyahan dan proses pencernaan.
Imbangan
Protein (IP): Imbangan antara protein yang dapat dicerna dengan zat-zat
makanan lainnya yang dapat dicerna dalam ransum.
Kalori (cal):
Jumlah panas yang diperlukan untuk menaikkan suhu 1 gram/ 1 kg air dari
14.5 derajat celcius menjadi 15.5 derajat celcius.
Makanan Penguat
(konsentrat): Bahan makanan yang tinggi kadar zat-zat makanan seperti
protein atau karbohidrat dan rendahnya kadar serat kasar (dibawah 18%)
Martabat
Pati (MP): Angka yang menunjukkan jumlah pati (dalam satuan kg) yang
sama besar dayanya dengan 100kg bahan makanan/ransum dalam membentuk
lemak yang sama banyaknya dalam tubuh.
Metabolisme Energi (ME): Nilai
energi yang terhimpun pada zat-zat yang dapat dicerna dikurangi nilai
energi yang keluar sebagai air kencing (urine) dan gas-gas usus.
Protein: Bagian bahan makanan yang mengandung persenyawaan nitrogen yang disusun oleh asam-asam amino esensial dan non-esensial.
Protein Dapat Dicerna (Pdd): Bagian protein dalam bahan makanan ternak yang dapat dicerna atau diserap dalam tubuh.
Ransum:
Campuran dari berbagai macam bahan makanan, sehingga dapat memenuhi
kebutuhan hidup ternak baik dalam jumlah maupun kualitasnya.
Serat Kasar: Bagian dari bahan makanan yang sulit dicerna.
Total
Digestible Nutrient (TDN): Semua zat makanan (yang terkandung dalam
bahan makanan yang dapat dicerna, seperti protein, karbohidrat, serat
kasar dan lemak.
Zat Makanan: Zat yang dibutuhkan oleh tubuh untuk
kelangsungan hidup tumbuh dan berproduksi, merupakan salah satu dari
berbagai hasil akhir pencernaan.
REFERENSI
Balai Informasi Pertanian – Ungaran. Bahan Makanan Penguat (Konsentrat). Departemen Pertanian Republik Indonesia. 1984 – 1985
LHM – Research Station – Makalah Pelatihan Integrated Farming System. Lembah Hijau Multifarm – Solo – Jawa Tengah – Indonesia
Majalah TROBOS. Edisi Juli 2008
Rukmantoro
S., Budi I., Amirudin, Hera H., Nakatani M., 2002. Produksi dan
Pemanfaatan Hijauan. Buku Petunjuk Teknologi Sapi Perah di Indonesia.
Untuk Peternak. JICA – Dairy Improvement Project. Direktorat Jenderal
ina Produksi Peternakan – Departemen pertanian RI, Dinas Peternakan Jawa
Barat dan Japan International Cooperation Agency
Saishi Sailage. 1998. 10,1 Dairyman Japan
Siregar, S.B. 1996. Pengawetan Pakan Ternak. Penebar Swadaya. Jakarta
Sumber : http://ekabees.blogspot.com/2010/04/pemanfaatan-hasil-samping-usaha-dan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar